"Lilin, menyala menerangi walau akhirnya habis terbakar dan akhirnya mati."
Apakah kita pernah menjumpai sosok di sekitar kita yang seperti lilin. Ia yang begitu ikhlas berjuang untuk kita. Ia yang begitu tulus berkorban untuk kita. Walau akhirnya dia sendiri yang akan terkena dampaknya. Walau bukan tentang kematian, seperti halnya lilin yang mati. Namun tentang perjuangan yang ia berikan, namun memang seolah dia tidak pernah merasakan bahagianya. Melihat kita yang tersenyum mungkin itulah tujuannya. Lilin yang membuat gelap menjadi terang. Ia ingin membuat hidup kita bahagia tanpa mementingkan hidupnya sendiri. Terpenting baginya kita bahagia. Pernahkah kita merasakan kehadiran sosok seperti itu di kehidupan kita. Mungkin seorang teman, seorang kekasih, seorang sahabat, bisa juga adalah keluarga kita sendiri.
Sering kali kita tidak bisa menyadarinya. Sosok seperti itu memang seolah berjuang untuk kita tidak untuk kita puja-puji. Dia lakukan itu dengan setulus hati. Layaknya kita yang tidak mengetahui sebuah cahaya yang berasal dari lilin, kita hanya tahu bahwa ada yang menerangi kita saat tiba-tiba gelap datang. Saat seolah semua orang menjauh dari kita, saat kita merasa kesepian, saat kita seolah memang tidak mempunyai teman sama sekali. Ia datang dengan memberikan segenap perhatian. Seolah dia berkata pada kita untuk tenang saja karena dia siap menerangi kita dibalik semua kepedihan yang sedang kita rasa. Ia mau menemani di saat kita sedang terpuruk. Waktu dimana kita merasa dunia memang sudah gelap, penuh dengan hening kesepian. Namun saat semuanya sudah kembali terang penuh cahaya. Kita sudah kembali bahagia dengan keceriaan kita. Tiba-tiba memang dia menghilang entah kemana.
"Lilin, saat cahaya-cahaya lampu sudah tidak menerangi. Dia hadir membuat terang sementara bagi diri kita. Menerangi saat dimana lampu-lampu itu tidak bisa menyinari kita."
Saat banyak orang yang seolah tidak peduli lagi kepada diri kita. Orang-orang tidak lagi memperhatikan kita. Kita seperti sudah terasing dalam kehidupan. Saat sedih sepi mendera hati. Ia masih tetap mau memberikan perhatian kepada kita. Ia masih begitu peduli. Tanpa banyak kata, perhatian yang tidak terlalu terang namun memang mendamaikan. Perhatian yang sayup-sayup terasa, namun mampu menjadi teman buat kita. Hingga kita seolah asyik bermain dengan lilin itu, memainkan cahayanya. Memandang nyalanya yang kecil namun tetap ada. Sesekali kita mencoba meniupnya, dan mungkin akan mati juga. Hingga kita sadar bahwa ruangan itu akan kembali gelap. Belum ada cahaya terang yang bisa menyinari kita. Kita pun menghidupkannya kembali, kita berikan kesempatan kepada seseorang itu untuk tetap peduli. Tetap mau menemani kita di kala sedih sepi masih terasa di hati. Hingga akhirnya suatu saat cahaya yang terang kembali datang dan menyala. Lilin pun akhirnya harus mati, cahayanya akhirnya hilang tanpa kita sadari. Orang yang mau bersama kita di kala sepi itu akhirnya tergantikan oleh orang lain. Seseorang yang mampu mengalihkan kesendirian kita. Hingga kita tidak pernah tahu bagaimana isi hati sosok lilin itu. Ia yang cahayanya akhirnya tetap bukan jadi prioritas utama kita. Mungkin saat ini ia tengah memperhatikan kita dari jauh, mempehatikan senyum kita yang tengah bersama orang lain. Dia bahagia, namun mungkin ia berharap bisa jadi cahaya lain yang tak pernah terlupakan. Cahaya yang menjadi prioritas kita.
0 Response to "Filosofi lilin - Mati Berkorban Untuk Menerangi"
Post a Comment