Bagian 1
Kisah berikut adasalah sinopsis dari Novel
"EMAK AKU INGIN KULIAH".
Tentang Perjalanan Dari Putus Sekolah Menuju Kuliah.
Karya Agus JP
Fajar menyingsing, suara ayam mulai sahut-menyahut mulai tedengar olehku. Sayup-sayup merdu suara adzan mententramkan hatiku. Aku pun terbangun dari mimpi indahku, dan segera mengambil air wudlu untuk segera sholat dimasjid. Dingin air terasa membasahi tubuhku yang terbasuh air wudlu ditambah dinginnya udara pagi hari didesa Srikaton Kabupaten Pati. Teman-temanku dipondok pesantren Roudlotul Hamidiyyah mulai terbangun satu demi satu. Aku bergegas menuju masjid disusul oleh teman-temanku yang lain untuk solat berjamaah. Setelah solat, aku ambil Al-Qur’an milikku. Aku isi waktu menyambut pagi hari dengan membacanya dengan seksama. Kubaca satu juz lantunan ayat suci itu dengan suara rendah, supaya tak mengganggu teman-temanku yang lain yang membacanya.
Mentari pagi telah bersinar, kini aku bersiap-siap untuk pergi sekolah, Aku berangkat dari pondok pesantrenku dengan mengayuh sepeda bersama teman-temanku. Semangat dan penuh senyum menghiasi perjalananku sekitar tiga kilometer hingga sampai sekolahanku. Itulah biasanya rutinitasku setiap pagi menjelang sekolah.
Sekolahanku, SMA Muhammadiyah 03 Kayen. Sebuah sekolah kecil yang baru berusia dua tahun saat pertama kali aku masuk. Karena aku adalah angkatan kedua dari sekolah itu. SMA Muhammadiyah 03 Kayen, walaupun sekolah yang sangat sederhana. Tapi banyak aku dapatkan hal-hal yang indah disekolah ini. Guru-guru yang baik, yang senantiasa mengajar, mendidik dan membimbingku dan teman-temanku dengan penuh semangat dan tak kenal lelah. Serta aku dapatkan banyak teman-teman yang baik disini, teman-teman yang sederhana yang selama tiga tahun menemaniku sekolah. Canda tawa merekalah yang selalu menghiasi hari-hariku disekolah.
Aku sangat bersyukur bisa bersekolah disini. Dulunya aku pernah putus sekolah, dan aku merantau ke pulau seberang. Pulau yang dikenal dengan pulaunya orang hutan, yaitu pulau Kalimantan. Merantau dipedalaman hutan Kalimantan, setiap malam hanya ditemani lampu teplok yang terbuat dari botol minuman yang diisi minyak tanah yang diberi sumbu dan dinyalakan api. Aku merantau dikalimantan sekitar lima bulan. Selama disana aku bekerja keras membanting tulang. Aku bekerja bersama dengan kakakku yang pertama yaitu Purhaji yang kemudian disusul oleh kakakku yang kedua yaitu Sukarjo. Kami bekerja mencari Pasir Sircon, yang lebih dikenal dengan Poyak. Sehingga pekerjaanku itu lebih dikenal dengan pekerjaan Moyak. Aku bekerja sering kali dari terbitnya sang mentari sampai pulangnya juga saat terbenamnya matahari diufuk barat. Kulitku menghitam dan rambutku panjang memerah karena terpanggang oleh teriknya sang mentari. Hingga sering aku berfikir saat disana bahwa masa depanku telah suram. Aku berandai-andai dalam lamunan, apakah hidupku sampai tua akan seperti ini. Bekerja keras memeras keringat sampai tulang rentaku dimasa tua tak sanggup lagi diajak untuk bekerja. Aku menyesal sekali telah berhenti sekolah. Sebelum merantau aku bersekolah di MA Miftahul Ulum Tambakromo, tapi hanya sekitar tiga bulan aku keluar dari sekolah itu. Padahal waktu itu keluargaku baru saja berusaha bersusah payah membayar uang pembayaran disekolah baruku itu. Tapi aku malah keluar, saat itu aku merasa iri dengan teman-temanku, dimana mereka terasa memiliki banyak hal yang aku tak punya. Hingga aku sering minder dan sering terdiam melihat diriku sendiri. Hingga aku tak kuasa menahan diri dan akhirnya aku putuskan untuk bekerja saja supaya aku bisa memiliki banyak hal yang mereka punyai. Aku pun merantau ke Kalimantan ikut dengan kakakku, walaupun kakakku dan keluargaku awalnya semuanya melarangku dan memarahiku. Mereka ingin aku tak keluar sekolah.
Kini penyesalan itu tiada berguna lagi terasa, tapi karena penyesalan itu aku jadi punya keinginan untuk belajar lagi setelah pulang. Aku inginkan untuk bisa sekolah atau mondok jika pulang. Aku bekerja keras setelah itu untuk bisa memperoleh uang yang banyak, dan nantinya bisa untuk biaya untuk sekolah lagi. Tapi pada saat itu ada isu pembunuhan berantai disana, suasna mencekam dan apalagi saat malam hari. Disana, tempat tinggalku hanya sebuah tenda kecil yaang terbuat dari terpal dengan ukuran sekitar tiga kali dua meter yang beralaskan tikar. Hingga pasti jika ada yang berniat jahat akan mudah sekali masuk ketendaku. Tenda yang pastinya sangat mudah dirobek. Disana ditengah area hutan dan hanya terdiri beberapa tenda. Ibuku dirumah menangis mendengar kabar buruk ditempat aku merantau, dimana ketiga anaknya berada disana ditengah mara bahaya yang menyangkut nyawa. Karena itu aku dan kakak-kakakku terpaksa pulang ke Jawa ke kampung halaman dengan hanya membawa sedikit uang saja. Serasa pupus sudah harapanku untuk sekolah lagi.
Dimana ada niat, disitu pasti ada jalan. Mungkin pepatah itulah yang cocok menggambarkan perjalanan hidup yang aku jalani. Saat dirumah cukup lama menjadi seorang pengangguran, aku dan kakak-kakakku berniat untuk merantau lagi di Kalimantan setelah dinilai kondisi disana yang sudah kondusif lagi. Tapi setiap kali waktu mau berangkat ke Kalimantan, selalu ada saja hal yang membatalkan keberangkatanku. Seperti kapalnya tidak ada, sedang ada gelombang besar dilaut saat itu dan lain-lain. Pada waktu itu ada tetanggaku yang menawariku untuk mondok didaerah Kayen, kata tetanggaku itu mondoknya gratis dan bahkan bisa disekolahkan juga. Aku pun minta pertimbangan orang tuaku, dan akhirnya aku bersedia untuk pergi kesana. Dari pondok itulah aku akhirnya bisa sekolah di SMA Muhammadiyah 03 Kayen. Karena pengasuh pondokku Kyai Abdul Hamid memberikan kesempatan bagi yang mau sekolah dengan dicarikan pembebasan biaya sekolah.
Alhamdulillah keinginanku saat merantau saat itu terwujud, malahan terwujud semua. Yaitu mondok dan sekolah. Aku jadi mondok di Pesantren Roudlotul Hamidiyah dan bisa sekolah di SMA Muhammadiyah 03 Kayen. Itulah ceritaku bisa bersekolah lagi.
Saat itu tanpa terasa sudah tiga tahun aku bersekolah disitu, ada guruku yang bertanya padaku. “Agus..., nanti setelah lulus mau melanjutkan kemana ? ” Tanya guruku. Aku bingung, dan sulit rasanya untuk menjawabnya. Pertanyaan itu sungguh belum pernah aku fikirkan secara serius saat dulu-dulu. Baru saat itu aku benar-benar memikirkannya. Setelah merenung aku putuskan untuk memperdalam lagi ilmu agamaku setelah lulus nanti, aku ingin mondok lagi. Suatu hari ada guruku, Bu wiwik nama beliau memberi info didepan kelas kalau ada beasiswa yang membebaskan biaya kuliah, namanya beasiswa bidikmisi. Beasiswa untuk siswa berprestasi dan berasal dari keluarga kurang mampu. Bu wiwik juga berkata langsung kepadaku menyuruh aku daftar. “Daftar saja gus, kamu kan cukup pintar dan jika kuliah pasti berat juga. Jadi kemungkinan pasti lolos dan diterima” saran Bu wiwik. Tapi aku kurang berminat, karena aku ingin mondok lagi.
Aku sampaikan keinginanku pada ibuku, bahwa setelah lulus nantinya aku ingin mondok lagi. Ibuku menjawab padakau bahwa jika aku ingin mondok maka aku sendiri lah yang akan membiayainya. Karena ibuku sudah tua, dan kakak-kakakku sudah berkeluarga semua dan menafkahi keluarganya masing-masing. Mendengar penjelasan dari ibuku itu aku jadi berfikir. Apakah aku bias membiayai mondokku sendiri, padahal aku ingin mondok di Jawa Timur. Sedangkan pada saat itu dipondok Rodlotul Hamidiyyah dan sekolah di Kayen saja aku dikedua tempat itu dengan banyak mendapatkan pembebasan biaya, mendapat keringanan dan beasiswa. Hanya setiap bulan keluargaku mengirimi uang saku kepadaku sekitar seratus ribu, uang segitu bagiku sudah cukup pada saat itu bahkan kadang masih tersisa. Aku jadi ragu untuk mondok lagi, akhirnya aku berpaling dan mulai memperhatikan beasiswa yang dulu Bu Wiwik infokan kepadaku. Aku mulai bertanya-tanya pada Bu Wiwik tentang beasiswa Bidikmisi itu dan sesekali aku cari informasi di internet diwaktu senggang. Aku jadi benar-benar fokus untuk mengejar beasiswa bidikmisi itu dan pilihan pertamanku adalah mengejarnya di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Karena memang ini sesuai keinginanku untuk memperdalam ilmu agamaku lagi.
Aku mulai mengurus berkas-berkas dan syarat pendaftaran bidikmisinya, tak jarang aku harus pulang kerumah dari pondok untuk mengurusnya. Di rumah tak aku duga, saat aku bilang ingin kuliah dengan mendaftar beasiswa. Mereka pada dasarnya kurang merestui dan menyetujui. Karena anggapan mereka kuliah itu sangat mahal dan sangat membebankan. Didesaku juga masih sangat minim sekali budaya untuk sekolah ke jenjang lebih tinggi. Boro-boro sampai keperguruan tinggi, sampai ketingkat SMA saja masih sedikit sekali. Tapi aku beranikan diri untuk beralasan dan menerangkan. “Ini aku coba daftar kuliah dengan mendaftar beasiswa, jika nanti lolos tetap aku coba untuk masuk kuliah. Apabila saat masuk kuliah itu ternyata ada bayar-bayar, maka aku siap untuk keluar dari kuliah itu” aku menerangkan alasanku. Dengan itu keluargaku merelakanku untuk daftar walau masih mengganjal rasanya. Aku jadi lebih bersemangat untuk mendaftar bidikmisi di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Di IAIN Sunan Ampel Surabaya pendaftaran bidikmisinya dilakukan secara langsung dikampusnya. Aku minta izin kepada ibuku untuk pergi ke Surabaya. Tapi ibku sangat khawatir, Ibuku memintaku untuk mengajak Pak Lekku untuk menemaniku ke Surabaya. Ibuku khawatir jika aku harus sendiri kesana. karena aku belum pernah sama sekali ke Surabaya. Tapi aku yakinkan ibuku bahwa aku akan sendiri saja pergi ke Surabaya, karena jika ajak Pak Lek pasti akan menambah biaya. Sedangkan aku dan ibuku tidak punya banyak uang untuk membiayainya. Akhirnya ibuku mengizinkanku dengan berat hati aku kesana.
Aku berangkat pagi-pagi dari kota Pati, Alhamdulillah sampai halte ternyata tepat pas bus yang menuju ke Surabaya sedang berhenti sejenak disitu. Aku langsung naik dan berpamitan dengan kakakku yang mengantarkanku. Lama perjalanan menyusuri jalan pantura dari Pati sampai Surabaya. Melewati desa demi desa, kota demi kota dan sering melewati jalur dipinggir laut Jawa. Akhirnya selama kira-kira enam jam sampailah aku di terminal Bungurasih Surabaya pada siang hari. “Setelah sampai di terminal Bungurasih, naiklah bus kota dan turunlah di depan Polda Jawa Timur. Kampus IAIN tepat diseberangnya” kata pegawai IAIN Sunan Ampel Surabaya saat aku menelfonnya dulu untuk menanyakan akses untuk sampai ke IAIN. Aku pun mencari bus kota yang dimaksud pegawai IAIN yang aku telefon, akhirnya aku menemukannya dengan bertanya-tanya dengan orang-orang diterminal. Aku pun naik bus itu, sekitar lima belas menit sudah sampai di depan Polda dan aku segera turun dan mencari letak kampus IAIN. Aku bertanya pada penjual makanan disekitar situ, dan menunjukan kampus IAIN yang terlihat masjidnya dari tempat aku berdiri. Aku pun berjalan menuju kesana, setelah sampai aku tak tau dimana tempat pendaftarannya. Aku bertanya dengan salah beberapa mahasiswa disana. Alhamdulillah ada yang mau mengantarkanku sampai kegedung pendaftaran bidikmisinya. Setelah mendaftar aku solat dan langsung pulang ke Pati. Sambil membawa informasi bahwa tanggal 8 Juni adalah hari tes ujian bidikmisinya.
Hal yang tak aku duga terjadi, ternyata 8 juni itu bertepatan dengan Ujian Akhir Sekolah (UAS). Tapi dengan penuh keberanian aku minta untuk diizinkan untuk ikut UAS susulan, dengan alasan mengikuti tes masuk IAIN. Alhamdulillah pihak sekolah mengizinkanku. Setelah menunggu beberapa hari, saat tanggal 7 juni siang aku berangkat ke Surabaya sendiri lagi. Alhamdulillah waktu itu Pak Ali guruku yang turut membiayaiku sekolah di SMA Muhammadiyah memberikan uang saku padaku sebesar seratus ribu. Hingga aku punya cukup bekal ke Surabaya untuk tes. Sampai di IAIN aku pada malam hari, aku tak tahu harus tidur dimana. Sempat berfikri tidur di Halte bus dan di jembatan penyeberangan pejalan kaki. Tapi aku fikir itu sangat berbahaya dikota sebesar itu. Akhirnya aku punya ide untuk tidur dimasjid IAIN yang besar. Sampai disana aku justru mendapat kenalan dari mahasiswa disana, dia berasal dari Madura. Tapi juga aku mendapat info yang mengagetkanku sekali pada malam itu. Dia mengatakan bahwa tes ujian mahasiswa baru dengan bidikmsi ditunda sampai tanggal 16 Juni. Aku sedih sekali, kenapa aku tidak dapat pemberitahuan. Atau jangan-jangan karena aku yang jarang buka informasi diwebsitenya. Padahal aku telah bela-belakan jauh-jauh dari Pati dan menunda UAS-ku. Tapi aku tidak lama larut dalam kegelisahan itu, seketika aku langsung berfikir untuk pulang supaya besok bisa mengikuti UAS. Malam sekitar jam Sembilan aku pulang dari Surabaya, dan sampai di Pati menjelang subuh. Akhirnya aku jadi ikut UAS dengan tanpa susulan.
UAS pun berlalu, pada tanggal 15 Juni aku pergi ke Surabaya lagi. Kali ini benar-benar waktu tesnya. Aku sampai disana pada malam hari juga. Seperti keberangkatan dulu aku masih belum tahu dimana aku harus tidur malam itu. Aku pun berputar-putar di sekitar terminal Bungurasih untuk bias mengisi waktu itu. Aku masih dalam kebingungan dimana aku harus tidur, sementara malam semakin larut. Aku putuskan untuk tidur di masjid terminal, dan aku istirahat dan rebahan dilantainya. Baru sebentar saja aku istirahat, kulihat pengurus masjid mulai menyirami lantai masjid dengan air. Dengan seketika para orang-orang yang istirahat disitu langsung beranjak pergi semua termasuk aku. Ternyata dilarang untuk tidur dimasjid itu. Aku semakin bingung, aku pun berjalan berputar-putar tanpa tujuan disekitar terminal. Hingga aku lihat mushola kecil di perumahan warga, aku pun putuskan untuk tidur disitu dan berharap tidak disirami lagi lantainya seperti yang tadi. Malam itu terasa panjang bagiku, rasanya sulit sekali mataku terpejam dan berharap akan cepat dating sang pagi.
Alhamdulillah malam berlalu, setelah sholat subuh aku langsung mencari bus menuju IAIN Sunan Ampel. Ketika sampai disana sudah terlihat banyak pendaftar yang siap mengikuti tesnya. Sebelum ujian, panitia disana memberikan sambutannya. “Sungguh beruntung sekali nanti yang bisa diterima bidikmisi karena dibebaskan dari semua biaya kuliah” kudengar diantara sambutanya. Setelah itu ujian pun dimulai, aku kerjakan soal-soal itu dengan baik dan cermat supaya nanti bias lolos. Alhamdulillah ujian selesai dengan lancar, aku pun segera pulang ke Pati.
Sambil menunggu pengumuman ujian bidikmisi itu, aku fokus ke persiapan Ujian Nasional yang segera lagi akan akan datang. Aku lebih semangat belajar, mengikuti tambahan pelajaran, mengerjakan soal-soal dan lain-lain. Aku berkeinginan untuk lulus UAN dengan nilai murniku asli. Aku harus wujudkan itu, aku tidak boleh mencontek, tidak boleh meminta jawaban teman apalagi membawa bocoran jawaban. Itulah yang menjadi komitmentku dalam menghadapi UAN saat itu. Aku berfikir jika aku jujur dan mengikuti aturan, pasti Allah akan lebih memberikanku manfaat. Allah pasti lebih melihat prosesku dalam mengikuti dan berusaha sebaik mungkin mengikuti UAN daripada melihat hasil nilaiku. Itulah yang juga membuatku sangat percaya diri dan semangat untuk bias lulus dengan nilai murni.
Alhamdulillah UAN berjalan dengan lancar dan aku sukses dalam mewujudkan komitmenku untuk mengerjakan sendiri dalam ujian. Walau sempat ada teman-temanku yang menggodaku dengan bocoran soal UAN, ada yang memintaku membenarkan jawabanku yang katanya salah dan lain-lain. Tapi aku tetap tegar untuk setia kepada komitmenku. Akhirnya pengumuman tiba, aku sempat khawatir apakah aku akan lulus atau tidak. Sungguh sangat malu pastinya jika tidak lulus. Aku menerima amplop pengumuman yang berisi surat keterangan lulus atau tidaknya. Aku buka surat keterangan itu, dan tak aku duga aku mampu lulus dengan hasil perjuanganku sendiri. Alhamdulillah aku sangat bersyukur sekali.
Kini tinggal menanti pengumuman bidikmisinya. Waktu pengumuman tiba, aku lihat di website IAIN Sunan Ampel. Aku sangat sedih sekali melihat pengumuman itu, tiada namaku yang tertera dalam nama-nama yang lolos disana. Padahal aku sudah berjuang seperti itu, tapi kenapa tidak lolos juga. Tapi aku tetap berfikir positif, mungkin memang aku yang tidak sepintar dengan siswa-siswa yang dinyatakan lolos dan aku yakin pasti Allah punya rencana yang lebih baik dari hal itu. Setelah itu aku tidak putus asa untuk mengejar bidikmisi, aku coba mendaftar di IAIN Walisongo Semarang yang masih membuka pedaftaran bidikmisi. Bedanya dengan di Surabaya, di IAIN Walisongo ini cuma mengirimkan berkas tanpa ada seleksi tertulis. Selang beberapa minggu tak kunjung juga pengumuman bidikmisinya keluar. Ketika aku buka di websitenya tidak ada pengumuman bidikmisinya. Aku jadi berfikir bahwa aku tidak lolos seleksi disitu. Ini buatku adalah kegagalan yang kedua buatku dalam mendaftar bidikmisi. Aku jadi mengubur dalam-dalam keinginanku untuk kuliah.
Setelah dua kegagalan itu aku jadi berfikir untuk datang kerumah Pak Ali yang dulu sempat menawariku pekerjaan. Beliau saat mendengar ceritaku juga turut prihatin dengan apa yang aku alami. Setelah itu beliau memberitahuku, jika nanti jadi kerja maka akan segera dihubungi. Karena ternyata Pak Ali juga menunggu konfirmasi dari saudaranya yang menyediakan lapangan kerja tersebut.
Dimasa-masa menunggu kabar dari Pak Ali itu sesekali aku harus pergi kesekolah untuk mengurusi kelulusanku. Saat-saat itu aku diberi semangat oleh Bu Chusnul, guru bahasa Indonesiaku. “Agus…jika kau punya cita-cita untuk kuliah, pasti Allah akan memberikan jalan untukmu untuk kuliah, jalan yang tak akan kau duga-duga” semangat dari bu Chusnul. Semangat itu mampu membuatku tersenyum dibalik harapanku yang telah aku kubur dalam-dalam.
Dihari berikutnya .... (Lanjut ke bagian 2)
0 Response to "Kisah Inspirasi Emak Aku Ingin Kuliah Bagian 1"
Post a Comment